“…Reformasi sebagai gelombang raksasa, membawa
perubahan politik dahyat satu dasawarsa, dan menumpang masuklah penghancur
nilai-nilai luhur bangsa..”. Begitulah sepenggal kata-kata dalam salah satu
syair karya taufik ismail. Menyadari mulai berlalunya sahabat karakter bangsa
yaitu nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa di dalam diri
bangsa kita sendiri. Bukankah agama adalah kewajiban setiap orang di negara
kita. Dan pancasila sebagai dasar negara yang merupakan ideologi terbuka adalah
nilai nilai luhur bangsa kita. Kewajiban dan dasar seharusnya menjadi sesuatu
yang absolut, menjadi karakter karena faktor pembiasaan. Namun sepertinya
gelombang waktu juga membiasakan pribadi indonesia untuk melalaikannya. Lalu ke
mana semua itu berlalu? Mengapa semua itu berlalu? Seharusnya pertanyaan
seperti ini tidak boleh ada.
Sebenarnya ada satu metode dalam
upaya penanaman nilai-nilai luhur di dalam kehidupan anak dan orang dewasa,
baik secara pribadi maupun kelompok. Begitu dekat dengan kita namun potensinya
kurang disadari. Apa itu ?
“……. Dan tiada maksud lain dari persahabatan
kecuali saling memperkaya roh kejiwaan ……. Carilah ia untuk bersama
menghidupkan sang waktu ……. Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia
menemui fajar dan ghairah segar kehidupan.”
Kata-kata
di atas merupakan penggalan sajak karya Khalil Gibran yang berjudul Sajak Persahabatan. Memahami sajak
tersebut, seolah menguatkan predikat persahabatan yang memang sarat makna bagi
hidup ini. Ya, sebenarnya persahabatan bukanlah sekedar wacana sosial yang
identik dengan pergaulan antara anda dan mereka, atau dia dan mereka dalam
menjalin pertemanan yang indah. Namun pencetus harmoni di setiap sisi
kehidupan, itulah persahabatan sebenar – benarnya termasuk penegas nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur bangsa yang pengamalannya dekat dengan perdamaian
selayaknya persahabatan.
Persahabatan
mengangguk pada hakikat manusia bahwa tidak ada manusia yang mampu hidup
sendiri, jika ia hidup sendiri maka ia akan semakin tidak manusiawi. Inilah
modal awal untuk melihat kembali sejarah. Babak awal gejolak nilai luhur bangsa
dan agama, mari telaah dan pelajari. Ingatkah anda akan situasi dan kondisi di
zaman Kerajaan Majapahit dulu? Bagaimana keberadaan dua agama yaitu agama Budha
para petinggi kerajaan dan agama Hindu (siwaisme) yang berkembang di dalam dan
luar keraton, menjadikan situasi dan kondisi politik terutama spiritualitas
Majapahit yang menjadi begitu mengkhawatirkan. Kakawin Sutasoma, yang digubah
penulisnya, Mpu Tantular antara tahun 1365 – 1389 M mengungkap kekhawatiran akan perbedaan itu
yang memunculkan simpulan dalam sebuah kebijakan dengan makna amat fundamental
yaitu “ Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa “, berbeda - beda tetapi
tetap satu, semua amal bertujuan satu. Bukankah sebuah penyadaran akan kondisi
bangsa kita yang majemuk, menuntut kita untuk mau bersahabat dengan segala
kondisi heterogen itu dengan memegang teguh hakikat nilai-nilai agama dan nilai-nilai
luhur budaya bangsa. Ya, dulu memang ‘bhi’ yang berarti dua, tapi kini bhi
dikali bhi dikali bhi dikali bhi dan seterusnya, berlipat lipatnya kemajemukan
yang tak bisa dibendung lagi dan tentu semakin mampu menyerukan konflik dan
perpecahan. Kini kita hidup enam abad setelah tragedi Majapahit itu, tapi semua
begitu nyata. Sejarah mengatakan setiap pribadi dari kita belum mampu
sepenuhnya menanamkan Bhineka Tunggal Ika apalagi pancasila dalam kehidupan
manusia Indonesia. Lalu mengapa tidak mengajak ‘persahabatan’ untuk turut
memberi andil di dalamnya? Mungkin kita terlalu fokus terhadap faktor pemersatu
bangsa yang lebih rumit, seperti menanti konflik dari luar dan barulah muncul
nasionalisme. Sungguh inilah gambaran kecil bangsa Indonesia yang unik, tapi
sadarilah bahwa kondisi ini memprihatinkan. Lalu munculah rentetan pertanyaan,
mengapa harus menunggu konflik dulu dengan melanggar hak asasi manusia dan
berpesta pora dengan kekerasan? Mengapa tidak berusaha untuk memupuk persatuan
dalam keseharian kita? Persahabatan bersama nilai-nilai luhur bangsa menanti
untuk diajak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Persahabatan
itu sarat makna bagi hidup ini karena ia mampu menganak pinakkan kebaikan. Kita
sadari bersama ia menghadirkan rasa saling menyayangi, saling menghargai,
saling menghormati, saling percaya, lalu timbulnya kepedulian, kejujuran, juga
kesediaan menerima perbedaan dan masih banyak lagi, kesemuanya itu wujud
harmonisasi kehidupan. Persahabatan menuntut nilai-nilai luhur bangsa dan agama
tetap melekat di setiap pribadi Indonesia.
Dalam
aplikasinya, kita lihat dari arah horizontal, mulai dari persahabatan lingkup
kecil, antara dua orang. Tidakkah anda ingin mengetahui kisah persahabatan Bung
Karno, persahabatan beliau dengan Fidel Castro, seorang berwarganegaraan Kuba
yang juga anggota nonblok kala itu. Sebagai pemimpin negara tentu keduanya
lekat dengan pengaruh ideologi bangsa, perbedaan kedua ideologi masing-masing
negara tersebut tidak menjadikan keduanya enggan untuk bertukar pikiran apalagi
sampai ada konflik, bahkan Castro menegaskan bahwa dirinya telah mengadopsi
ajaran-ajaran ( trisakti & resopim ) presiden pertama Indonesia tersebut
untuk dijadikan acuan guna memimpin negaranya. Berawal dari persahabatan,
Castro berhasil menjadikan Kuba sebagai negara yang mandiri. Bung Karno disebut
sebagai sahabat yang memperjuangkan rakyat kecil, pantas jika Fidel Castro menjadikan beliau sebagai sahabatnya. Bung
Karno juga sering mengajarkan pentingnya musyawarah, hal ini terbukti, beliau
lebih suka jalan diplomatik dalam situasi rawan konflik . Musyawarah untuk
mufakat bersifat kearifan instuitif yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan
nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan
sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Beranjak
ke lingkup yang lebih luas, kita temukan makna lain dari persahabatan, diambil
dari suku Sasak. Di suku Sasak dikenal istilah “besiru”. Prinsip dasar yang
menggerakkan besiru adalah keyakinan
hidup memerlukan interaksi dan berbagi dengan sesama. Mengingat apa itu
persahabatan bukankah begitu dekat dengan apa yang telah diterapkan nenek
moyang kita sebagai wujud nilai-nilai luhur bangsa. Seperti halnya ajaran besiru dalam suku sasak ini,
persahabatan adalah istilah luwes bagi kita dalam mengaplikasikannya. Bayangkan
jika setiap suku di Indonesia bukan hanya mempunyai tekad untuk bersahabat
dengan orang-orang di sekitarnya, namun lebih luas dengan seluruh warga bangsa
ini. Sungguh itulah wujud persahabatan yang mampu memupuk persatuan dan kesatuan
itu dengan damai, alamiah, dan rasional. Jangankan tawuran antar pelajar atau
kekerasan antar kelompok masyarakat, perang sekalipun tak akan terjadi.
Tak
luput memandang ke arah vertikal yaitu antara aparatur pemerintahan dan
masyarakat. Siapa yang tak kenal Gayus Tambunan? diendus-endus, suka kelayaban,
pengkhianat persahabatan, persahabatan dengan masyarakat yang memberi
kepercayaan. Seharusnya para aparatur pemerintahan memahami, masyarakat
men’iya’kan mereka menjadi aparatur pemerintahan adalah perwujudan dari
keikhlasan menaruh rasa percaya mereka kepada para aparatur pemerintahan, dan
juga sekaligus sebagai bentuk seruan mereka untuk memberi ruang bagi
persahabatan. Andai setiap pribadi menyadari hal itu, masih adakah aparatur
pemerintahan yang ulu hatinya tega mengkhianati persahabatan simbol rasa
percaya itu?
Banyak
hal yang membuat persahabatan bersama nilai-nilai luhur bangsa semakin
menyenangkan untuk dipahami. Berikut adalah gambaran Aristoteles. “Friendship
is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life.
For no one would choose to live without friends even if he had all the other
goods. For in fact, rich people and holders of powerful positions, even more
than other people, seems to need friends, in poverty also, and in other
misfortunes, people think friends are only refuge. Moreover the young need it
to keep them from error. The old need to care for them and support the actions
that fail because of weakness. And those in their prime need it, to find
actions; for them two go together they are more capable of understanding and
acting. ( Aristoteles, Nichomachean Ethics,1155, art, 1-5)”. Inti dari gambaran
Aristoteles di atas adalah, sahabat di butuhkan oleh siapapun dan kapanpun,
persahabatan lebih mengarah kepada kebutuhan dalam hidup kita, tua maupun muda,
kaya atau miskin semua butuh sahabat. Bagi orang dewasa apalagi anak-anak,
karena anak-anak dan persahabatannya juga merupakan bagian dari pembentukan
karakternya, karakter bangsa yang semestinya tak pernah luntur.
Dari
memahami inilah kita coba untuk mengenal apa itu “kultur persahabatan”, yaitu
peradaban antar orang yang satu dengan orang lain yang memperlihatkan dan
berupaya memperlakukan orang lain sebagai sahabat, maksudnya agar manusia
diperlakukan sebagai sahabat agar ‘dia’ dan ‘saya’ sama-sama semakin manusiawi,
semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah. Jangan menanti
konflik baru menumbuhkan sikap
nasionalisme, namun dengan persahabatan, nilai-nilai luhur bangsa dan
nilai-nilai agama kita pupuk persatuan dan menjadikannya tonggak pembentukan
karakter bangsa yang beradab, terutama untuk anak-anak.
Memandang pentingnya pengokohan nilai-nilai
luhur bangsa dan nilai-nilai agama melalui jiwa persahabatan. Maka harus
mengidentifikasi proses yang di perlukan. Obyek terbaik untuk memulai proses
itu adalah anak. Anak adalah generasi penerus bangsa, jika sejak belia mereka
dididik dengan baik seperti salah satunya pembentukan karakter melalui jiwa
persahabatan, maka tidak mungkin tidak ada ruang bagi masa depan bangsa yang
lebih baik. Lalu, alasan yang tepat mengatakan, sesuatu yang sama sekali tidak
kelewatan jika hak setiap anak harus dipenuhi. Sesuai dengan Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pemenuhan hak anak
bukanlah kewajiban orangtua saja atau pemerintah atau yang lainnya. Ini juga
merupakan salah satu pembentukan karakter bangsa, berhenti menuntut hak dari
orang lain tapi belajar untuk memperjuangkan hak itu semaksimal mungkin. Jadi
tidak harus ada berita di media mengatakan orang tua menuntut hak anak mereka
kepada pemerintah atau isu-isu pemerintah yang menyalahkan para orang tua bahkan
orang-orang yang menyalahkan anak–anak itu sendiri. Sebagai generasi muda, anak
juga harus mengerti, hak menuntut pemenuhan kewajiban. Kesadaran akan hal itu
yang harus mampu di pupuk dari usia belia.
Sebenarnya tumpuan penyelesaian dari
tiap masalah adalah kesadaran setiap orang. Kesadaran yang hakiki adalah
kesadaran yang sudah menjadi karakter, jadi gencarkan setiap pribadi terutama
anak-anak sebagai generasi penerus bangsa untuk mampu membentuk karakter mereka
yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya bangsa dan nilai-nilai agama dan
tentunya berlandaskan pancasila. Karakter memang dapat dididik melalui
pembelajaran teori namun langkah terbaik sebenarnya adalah keteladanan. Jadi,
mari kobarkan semangat teladankan setiap
kebaikan ! Kebaikan untuk setiap generasi Indonesia demi
masa depan yang lebih baik. Jaya
Indonesiaku !
Narmada,
30 September 2011
:)
BalasHapus:D thanks udah mampir..
Hapus