Rabu, 23 November 2011

SETANGKUP PERSAHABATAN PENGOKOH NILAI DALAM BINGKAI NEGERIKU

 “…Reformasi sebagai gelombang raksasa, membawa perubahan politik dahyat satu dasawarsa, dan menumpang masuklah penghancur nilai-nilai luhur bangsa..”. Begitulah sepenggal kata-kata dalam salah satu syair karya taufik ismail. Menyadari mulai berlalunya sahabat karakter bangsa yaitu nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa di dalam diri bangsa kita sendiri. Bukankah agama adalah kewajiban setiap orang di negara kita. Dan pancasila sebagai dasar negara yang merupakan ideologi terbuka adalah nilai nilai luhur bangsa kita. Kewajiban dan dasar seharusnya menjadi sesuatu yang absolut, menjadi karakter karena faktor pembiasaan. Namun sepertinya gelombang waktu juga membiasakan pribadi indonesia untuk melalaikannya. Lalu ke mana semua itu berlalu? Mengapa semua itu berlalu? Seharusnya pertanyaan seperti ini tidak boleh ada.
            Sebenarnya ada satu metode dalam upaya penanaman nilai-nilai luhur di dalam kehidupan anak dan orang dewasa, baik secara pribadi maupun kelompok. Begitu dekat dengan kita namun potensinya kurang disadari. Apa itu ?
 “……. Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan ……. Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu ……. Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan ghairah segar kehidupan.”
Kata-kata di atas merupakan penggalan sajak karya Khalil Gibran yang berjudul Sajak Persahabatan. Memahami sajak tersebut, seolah menguatkan predikat persahabatan yang memang sarat makna bagi hidup ini. Ya, sebenarnya persahabatan bukanlah sekedar wacana sosial yang identik dengan pergaulan antara anda dan mereka, atau dia dan mereka dalam menjalin pertemanan yang indah. Namun pencetus harmoni di setiap sisi kehidupan, itulah persahabatan sebenar – benarnya termasuk penegas nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur bangsa yang pengamalannya dekat dengan perdamaian selayaknya persahabatan.
Persahabatan mengangguk pada hakikat manusia bahwa tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri, jika ia hidup sendiri maka ia akan semakin tidak manusiawi. Inilah modal awal untuk melihat kembali sejarah. Babak awal gejolak nilai luhur bangsa dan agama, mari telaah dan pelajari. Ingatkah anda akan situasi dan kondisi di zaman Kerajaan Majapahit dulu? Bagaimana keberadaan dua agama yaitu agama Budha para petinggi kerajaan dan agama Hindu (siwaisme) yang berkembang di dalam dan luar keraton, menjadikan situasi dan kondisi politik terutama spiritualitas Majapahit yang menjadi begitu mengkhawatirkan. Kakawin Sutasoma, yang digubah penulisnya, Mpu Tantular antara tahun 1365 – 1389 M  mengungkap kekhawatiran akan perbedaan itu yang memunculkan simpulan dalam sebuah kebijakan dengan makna amat fundamental yaitu “ Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa “, berbeda - beda tetapi tetap satu, semua amal bertujuan satu. Bukankah sebuah penyadaran akan kondisi bangsa kita yang majemuk, menuntut kita untuk mau bersahabat dengan segala kondisi heterogen itu dengan memegang teguh hakikat nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ya, dulu memang ‘bhi’ yang berarti dua, tapi kini bhi dikali bhi dikali bhi dikali bhi dan seterusnya, berlipat lipatnya kemajemukan yang tak bisa dibendung lagi dan tentu semakin mampu menyerukan konflik dan perpecahan. Kini kita hidup enam abad setelah tragedi Majapahit itu, tapi semua begitu nyata. Sejarah mengatakan setiap pribadi dari kita belum mampu sepenuhnya menanamkan Bhineka Tunggal Ika apalagi pancasila dalam kehidupan manusia Indonesia. Lalu mengapa tidak mengajak ‘persahabatan’ untuk turut memberi andil di dalamnya? Mungkin kita terlalu fokus terhadap faktor pemersatu bangsa yang lebih rumit, seperti menanti konflik dari luar dan barulah muncul nasionalisme. Sungguh inilah gambaran kecil bangsa Indonesia yang unik, tapi sadarilah bahwa kondisi ini memprihatinkan. Lalu munculah rentetan pertanyaan, mengapa harus menunggu konflik dulu dengan melanggar hak asasi manusia dan berpesta pora dengan kekerasan? Mengapa tidak berusaha untuk memupuk persatuan dalam keseharian kita? Persahabatan bersama nilai-nilai luhur bangsa menanti untuk diajak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Persahabatan itu sarat makna bagi hidup ini karena ia mampu menganak pinakkan kebaikan. Kita sadari bersama ia menghadirkan rasa saling menyayangi, saling menghargai, saling menghormati, saling percaya, lalu timbulnya kepedulian, kejujuran, juga kesediaan menerima perbedaan dan masih banyak lagi, kesemuanya itu wujud harmonisasi kehidupan. Persahabatan menuntut nilai-nilai luhur bangsa dan agama tetap melekat di setiap pribadi Indonesia.
Dalam aplikasinya, kita lihat dari arah horizontal, mulai dari persahabatan lingkup kecil, antara dua orang. Tidakkah anda ingin mengetahui kisah persahabatan Bung Karno, persahabatan beliau dengan Fidel Castro, seorang berwarganegaraan Kuba yang juga anggota nonblok kala itu. Sebagai pemimpin negara tentu keduanya lekat dengan pengaruh ideologi bangsa, perbedaan kedua ideologi masing-masing negara tersebut tidak menjadikan keduanya enggan untuk bertukar pikiran apalagi sampai ada konflik, bahkan Castro menegaskan bahwa dirinya telah mengadopsi ajaran-ajaran ( trisakti & resopim ) presiden pertama Indonesia tersebut untuk dijadikan acuan guna memimpin negaranya. Berawal dari persahabatan, Castro berhasil menjadikan Kuba sebagai negara yang mandiri. Bung Karno disebut sebagai sahabat yang memperjuangkan rakyat kecil, pantas jika Fidel Castro  menjadikan beliau sebagai sahabatnya. Bung Karno juga sering mengajarkan pentingnya musyawarah, hal ini terbukti, beliau lebih suka jalan diplomatik dalam situasi rawan konflik . Musyawarah untuk mufakat bersifat kearifan instuitif yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Beranjak ke lingkup yang lebih luas, kita temukan makna lain dari persahabatan, diambil dari suku Sasak. Di suku Sasak dikenal istilah “besiru”. Prinsip dasar yang menggerakkan besiru adalah keyakinan hidup memerlukan interaksi dan berbagi dengan sesama. Mengingat apa itu persahabatan bukankah begitu dekat dengan apa yang telah diterapkan nenek moyang kita sebagai wujud nilai-nilai luhur bangsa. Seperti halnya ajaran besiru dalam suku sasak ini, persahabatan adalah istilah luwes bagi kita dalam mengaplikasikannya. Bayangkan jika setiap suku di Indonesia bukan hanya mempunyai tekad untuk bersahabat dengan orang-orang di sekitarnya, namun lebih luas dengan seluruh warga bangsa ini. Sungguh itulah wujud persahabatan yang mampu memupuk persatuan dan kesatuan itu dengan damai, alamiah, dan rasional. Jangankan tawuran antar pelajar atau kekerasan antar kelompok masyarakat, perang sekalipun tak akan terjadi.
Tak luput memandang ke arah vertikal yaitu antara aparatur pemerintahan dan masyarakat. Siapa yang tak kenal Gayus Tambunan? diendus-endus, suka kelayaban, pengkhianat persahabatan, persahabatan dengan masyarakat yang memberi kepercayaan. Seharusnya para aparatur pemerintahan memahami, masyarakat men’iya’kan mereka menjadi aparatur pemerintahan adalah perwujudan dari keikhlasan menaruh rasa percaya mereka kepada para aparatur pemerintahan, dan juga sekaligus sebagai bentuk seruan mereka untuk memberi ruang bagi persahabatan. Andai setiap pribadi menyadari hal itu, masih adakah aparatur pemerintahan yang ulu hatinya tega mengkhianati persahabatan simbol rasa percaya itu?
Banyak hal yang membuat persahabatan bersama nilai-nilai luhur bangsa semakin menyenangkan untuk dipahami. Berikut adalah gambaran Aristoteles. “Friendship is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life. For no one would choose to live without friends even if he had all the other goods. For in fact, rich people and holders of powerful positions, even more than other people, seems to need friends, in poverty also, and in other misfortunes, people think friends are only refuge. Moreover the young need it to keep them from error. The old need to care for them and support the actions that fail because of weakness. And those in their prime need it, to find actions; for them two go together they are more capable of understanding and acting. ( Aristoteles, Nichomachean Ethics,1155, art, 1-5)”. Inti dari gambaran Aristoteles di atas adalah, sahabat di butuhkan oleh siapapun dan kapanpun, persahabatan lebih mengarah kepada kebutuhan dalam hidup kita, tua maupun muda, kaya atau miskin semua butuh sahabat. Bagi orang dewasa apalagi anak-anak, karena anak-anak dan persahabatannya juga merupakan bagian dari pembentukan karakternya, karakter bangsa yang semestinya tak pernah luntur.
Dari memahami inilah kita coba untuk mengenal apa itu “kultur persahabatan”, yaitu peradaban antar orang yang satu dengan orang lain yang memperlihatkan dan berupaya memperlakukan orang lain sebagai sahabat, maksudnya agar manusia diperlakukan sebagai sahabat agar ‘dia’ dan ‘saya’ sama-sama semakin manusiawi, semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah. Jangan menanti konflik  baru menumbuhkan sikap nasionalisme, namun dengan persahabatan, nilai-nilai luhur bangsa dan nilai-nilai agama kita pupuk persatuan dan menjadikannya tonggak pembentukan karakter bangsa yang beradab, terutama untuk anak-anak.
Memandang pentingnya pengokohan nilai-nilai luhur bangsa dan nilai-nilai agama melalui jiwa persahabatan. Maka harus mengidentifikasi proses yang di perlukan. Obyek terbaik untuk memulai proses itu adalah anak. Anak adalah generasi penerus bangsa, jika sejak belia mereka dididik dengan baik seperti salah satunya pembentukan karakter melalui jiwa persahabatan, maka tidak mungkin tidak ada ruang bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Lalu, alasan yang tepat mengatakan, sesuatu yang sama sekali tidak kelewatan jika hak setiap anak harus dipenuhi. Sesuai dengan Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pemenuhan hak anak bukanlah kewajiban orangtua saja atau pemerintah atau yang lainnya. Ini juga merupakan salah satu pembentukan karakter bangsa, berhenti menuntut hak dari orang lain tapi belajar untuk memperjuangkan hak itu semaksimal mungkin. Jadi tidak harus ada berita di media mengatakan orang tua menuntut hak anak mereka kepada pemerintah atau isu-isu pemerintah yang menyalahkan para orang tua bahkan orang-orang yang menyalahkan anak–anak itu sendiri. Sebagai generasi muda, anak juga harus mengerti, hak menuntut pemenuhan kewajiban. Kesadaran akan hal itu yang harus mampu di pupuk dari usia belia.
            Sebenarnya tumpuan penyelesaian dari tiap masalah adalah kesadaran setiap orang. Kesadaran yang hakiki adalah kesadaran yang sudah menjadi karakter, jadi gencarkan setiap pribadi terutama anak-anak sebagai generasi penerus bangsa untuk mampu membentuk karakter mereka yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya bangsa dan nilai-nilai agama dan tentunya berlandaskan pancasila. Karakter memang dapat dididik melalui pembelajaran teori namun langkah terbaik sebenarnya adalah keteladanan. Jadi, mari  kobarkan semangat teladankan setiap kebaikan ! Kebaikan untuk setiap generasi Indonesia demi